Pendukung #DiRumahAja dari ranah bawah
seorang penjual sayur keliling yang sedang mencuci tangan. Foto by Arya RahmadDani |
Pandemi Covid-19 belum tuntas, namun di
negara lain seperti Vietnam, Taiwan sudah ingin kering dari
pandemi ini. Kondisi di Indonesia sendiri pandemi ini tidak terlalu menjadi
momok yang menakutkan lagi saat ini, pasalnya banyak orang berkumpul tanpa
mematuhi protokol kesehatan seperti social distancing, physical distancing,
menggunakan masker saat keluar rumah. Himbauan #DiRumahAja membuat kaum
menengah kebawah kebingungan, bingung bukan kepalang! Antara diam dirumah atau
mencari rupiah, apabila diam dirumah maka kelaparan menghantui dan apabila
mencari uang keluar rumah maka resiko terpaparnya virus ini juga menghantui.
Mungkin, bagi sebagian orang menenah keatas bisa leha-leha dirumah mereka
dengan mengatakan “ Dirumah aja apa susahnya sih? ” Dengan entengnya mereka
mengatakannaya tanpa tahu kondisi yang terjadi disektor bawah.
Banyak pekerjaan yang mengharuskan keluar
rumah untuk mencari rupiah di kondisi saat ini. Salah satunya adalah penjual
sayur keliling, pekerjaan ini sebenarnya pendukung #DiRumahAja. Mekanisme
pekerjaan ini yaitu membeli berbagai macam sayuran di pasar, lalu menjualnya
kembali dengan harga sedikit mahal dari harga pasar. Jelas! Hal ini membuat orang
yang ingin berpegian membeli sayuran ke pasar tidak perlu keluar rumah, karena
sudah ada pekerjaan ini. “Saya sebenarnya was-was jualan keliling, tapi gimana
lagi saya juga butuh uang untuk keperluan sehari-hari”, Tutur Wagini (44)
Seorang penjual sayur keliling. Pada kenyataannya, memang bansos
(bantuan sosial) dari pemerintah berupa bahan pokok pangan sudah sampai
ditangan warga yang membutuhkan, tetapi bagaimana kebutuhan non pangan seperti
biaya pajak air dan listrik, biaya kontrakan, dan kebutuhan lainnya yang tidak
bisa dibayar dengan beras. Selama pandemi ini omset Wagini mengaku naik drastis
“ Omset saya tapi naik saat pendemi ini sampai naik 3x lipat dari hari
biasanya, Alhamdulillah. Tapi kelilingnya muter-muter gak kaya bisanya, karena
kan rutenya biasanya ditutup. Ya gapapa yang penting uang untuk kebutuhan
sehari-hari cukup ”, Imbuh Wagini. Rute yang biasanya dilewati oleh Wagini
ditutup oleh warga setempat dengan spanduk bertuliskan LOKDOWN LOKAL, karena
mereka takut ada orang yang terpapar Covid-19 masuk ke daerahnya. Pindah haluan
ke penjual makanan matang dengan sistem jualnya tidak keliling atau mangkal
seperti nasi uduk, pecel lele. Mereka terpaksa vakum dari pekerjaannya karena
selama masa pandemi orang lebih dominan memilih membuat makanan sendiri. Mau
tidak mau penjual makanan matang harus mencari jalan tikus untuk memenuhi
kebutuhan perut.
Disisi lain, penjual non pangan seperti
penjual baju di pusat perbelanjaan atau mall, mereka harus putar kepala dari
menjual baju offline menjadi online. Harga nya terpaksa harus dianjlokkan
karena harus bersaing dengan penjual yang lebih dulu masuk ranah penjualan
online. Ambil kesimpulan penjual baju online juga ikut andil #DiRumahAja.
Karena mereka yang ingin berbelanja tidak perlu ke mall, toh! juga mall nya
dititup dan di platform jualan online juga sudah ada,
lebih murah dan tidak perlu keluar rumah. Selain penjual baju yang rela menjual
secara online, ada juga pekerjaan pendukung #DiRumahAja yaitu penjual masker
kain keliling yang harga nya relatif berakal dibandingkan harga masker yang
ditimbun oleh oknum tak berakal. Penjual masker keliling ini sangat membantu
orang ingin keluar rumah untuk membeli tameng ini.
Memang dilema, diam dirumah tapi
kelaparan atau keluar rumah tapi resiko terpapar Covid-19 menghantui. Diam
dirumah untuk kaum bourjois, keluar rumah untuk kaum proletar dengan tujuan
mencari rupiah. Mematuhi protokol kesehatan adalah cara ikut andil melawan
pandemi ini. Menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga keseimbangan antara roda
ekonomi dan kesehatan. Menjaga roda ekonomi agar tidak terjadi kelaparan massal
karena mematuhi #DiRumahAja, namun juga harus menjaga roda kesehatan agar
pandemi ini cepat berakhir.
Oleh : Arya RahmadDani
No comments