Breaking News

Kritik Terhadap “Kekakuan” Studi Geografi Sosial dalam pembelajaran di Fakultas Geografi UMS



Oleh : Danang Maulana Arif Saputra*

Sejak ratusan tahun lalu Ibnu Chaldun, Giambatista Vico hingga Karl Marx telah mengatakan jika peradaban manusia akan terus berkembang dan mengalami perubahan.Bukti dari adanya perkembangan dan perubahan tersebut adalah teori-teori baru yang relevan dengan kondisi saat ini. Geografi yang termasuk bagian dari rumpun ilmu sosial tidak lepas dari perubahan tersebut, meskipun perdebatan mengenai posisi ilmu geografi apakah termasuk dalam rumpun ilmu sosial dan sains selalu menjadi diskursus yang menarik dan akan terus terjadi dalam pojok pojok kelas di Fakultas Geografi UMS. Tulisan ini, penulis akan mencoba sedikit mengkritik mengenai teori-teori dalam bahasan geografi sosial yang penulis anggap masih menggunakan sudut pandang usang.
Dalam studi demografi misalnya, kebanyak kita masih menganggap jika studi ini dimaknai sebagai deretan angka statistik numerik, terlihat hasil dari studi ini akan menghasilkan kebijakan yang sangat bernuansa teknokratik. Dimensi teknokratik relasi sosial yang melekat pada setiap individu akan menjadi variabel yang bisa dipinggirkan. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang dihasilkan dari pendekatan ini kemudian menyisakan masalah. Sejalan dengan pemikiran diatas, Riwanto Tirtosudarmo (2007 & 2011) ingin mengajak kita untuk mendobrak pakem cara berfikir dalam keilmuan demografi atau kependudukan yang terpenjara dalam cara  berpikir positivistik. Manusia dimaknai sebagai sebuah angka dalam hitungan demografis  dan menafikan berbagai atribut sosial budaya lainnya yang inheren. Cara pandang berpikir seperti inilah yang turut menyebabkan pembuatan kebijakan publik yang tidak tepat, imbasnya adalah terjadi konflik-konflik etnis berskala lokal hingga nasional yang terjadi pada masa akhir-akhir orde baru diberbagi daerah Indonesia (Bruce Curtis, 2006:15).
Bagi Bruce Curtis (2016), demografi sesungguhnya merupakan kerja politik. Pengklasifikasian, simplifikasi. kategorisasi, pendefinisian dan pemetaan teritori populasi adalah laku-politik karena terjadi praktik-kuasa serta menentukan konfigurasi relasi dan proses sosial. Para ilmuan politik acap kali melewatkan perhatian yang besar terhadap isu demografi padahal demografi mengakibatkan implikasi serius bagi politik. Oleh karena itu, bias dikatan jika secara garis besar kelemahan dari pendekatan demografi adalah direduksinya penduduk menjadi angka statistik dan dilepaskannya manusia dari konteks sosial-budaya (Riwanto, 2007).
Studi geografi politik dalam pembelajaran di fakultas geografi juga masih terkurung dalam diskursus wacana, apa itu geografi dan apa itu politik. Bahkan masih banyak yang menyamakan geografi politik dan geopolitik, padahal dua hal tersebut memiliki makna, konsep, kajian dan landasan filosofis yang berbeda. Metode perkuliahan yang dijalankan, studi geografi politik sangat kaku, teori dan pendekatan yang disampaikan tidak up to date dengan kondisi politik saat ini yang sangat dinamis. Sejatinya dengan menggunakan pendekatan geografi politik yang lebih modern maka akan membuat kajian yang dihasilkan menjadi lebih relevan.
Sebagai bagian dari ilmu sosial yang sangat dinamis, studi dalam geografi manusia sudah seharusnya mengikuti perubahan yang terjadi. Sebagaimana industri yang bergerakan dengan sangat cepat maka perlu pembaharuan dalam teori geografi industri saat ini. Begitupun dengan perkembangan ekonomi global yang berkembang pesat berimplikasi terhadap adanya teori yang lebih inheren dengan studi geografi ekonomi.
Konsep kekakuan yang sama juga terjadi dalam proses pengantar geografi. Bahasan awal yang seharusnya diberikan kepada mahasiswa adalah materi filsafat geografi agar paham kedudukan geografi terhadap disiplin ilmu lainnya. Sebagai dasar dari segala ilmu, filsafat diperlukan untuk mengubah paradigma seseorang agar mampu terarah dan berpikir kritis. Bagi penulis, ketiadaan materi filsafat geografi akan membuat mahasiswa masih saja berdebat apakah geografi masuk dalam rumpun ilmu sosial atau sains.
Studi geografi manusia di Fakultas Geografi UMS memang perlu banyak kritik dan masukan. Ketiadaan laboratorium khusus geografi manusia untuk menunjang proses pembelajaran seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pihak fakultas. Apalagi setelah proses civitasi dan berhasil mempertahankan nilai Akreditasi “A” seharusnya menjadi beban moral untuk terus berbenah kembali. Terimakasih 
----------------------------------------------------------
*Ketua Umum PK IMM Al Idrisi FG UMS (2018-2019)
*Mahasiswa Fakultas Geografi UMS 2016




1 comment:

  1. Sudah lama selaku ka lab FG sy usulkan untuk diberikan satu lab lagi yaitu lab geigrafi.manusia/sosial namun butuh perjuangan keras lagi...lg2 alasan klasik keterbatasan ruang yg pusat sampekan.

    ReplyDelete