Bagaimana kalau spekulasi Jokowi tentang penyebab banjir di Kalsel itu benar?
Pernyataan Pakdhe Jokowi tentang penyebab banjir yang terjadi di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan disayangkan oleh banyak pihak, antara lain ialah Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan: Kisworo Dwi Cahyono, menurutnya kunjungan presiden ke lokasi banjir Kalsel seharusnya menjadi momen yang tepat, selagi Pakdhe Jokowi berada di lokasi banjir, sekalian memanggil para pemilik perusahaan tambang, sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan hak pengusahaan lahan (HPH) yang kemudian melakukan dialog terbuka di hadapan rakyat dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Bahkan, Kisworo mengatakan bahwa lebih baik presiden tidak usah ke lokasi banjir kalaupun hanya menyalahkan hujan.
Pakdhe Jokowi mengatakan kalau banjir yang terjadi di Kalsel adalah yang terbesar selama 50 tahun terakhir. Curah hujan tinggi selama hampir 10 hari berturut-turut menyebabkan Sungai Barito kelebihan kapasistas yang akibatnya meluap. Pernyataan Pakdhe Jokowi ini dianggap keliru karena bukan hujan yang seharusnya disalahkan melainkan aktivitas manusia berupa deforestasi atau penebangan hutan untuk tambang, sawit, dan semacamnya yang berlebihanlah sehingga, mengakibatkan luas hutan sebagai penampung air sementara berkurang drastis. Ulasan dari salah satu organisasi lingkungan hidup mengatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir, Pulau kalimantan telah kehilangan lebih dari separuh hutan hujannya, bahkan menurut organisasi Forest Watch Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2020 lalu, tepat 75 tahun negara ini merdeka, Indonesia telah kehilangan hutan (deforestasi) seluas lebih dari 23 juta hektar hutan atau setara dengan tujuh puluh lima kali luas priovinsi Yogyakarta. Deforestasi disini dapat terjadi karena berbagai penyebab, seperti pembakaran kebakaran hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan, pemukiman, atau pertambangan. Padahal hutan merupakan aset negara yang sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan generasi mendatang, Indonesia sendiri dikenal dengan hutannya yang sangat luas hingga mendapat julukan salah satu negara sebagai paru-paru dunia, selain menghasilkan oksigen hutan juga berperan penting sebagai penahan air hujan agar tidak mengenai tanah secara langsung, dengan demikian erosi yang ditimbulkan oleh air hujan dapat dikurangi serta menjadi penampung air sementara agar air hujan tidak langsung menuju hilir dengan cepat.
Oke, mungkin Kalimantan kehilangan hutannya, tapi Kalimantan adalah rumah tambang dan sawit, namun bukankah Pakdhe Jokowi itu jebolan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, pastinya ia punya pengetahuan yang lebih dari cukup untuk dibilang mumpuni tentang hutan, tentang konservasi, tentang pengelolaannya, pastilah beliau punya alasan dari spekulasinya mengenai penyebab banjir di Kalimantan Selatan ini. Bagaimana kalau spekulasinya itu benar?. Beliau mengatakan bahwa banjir ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, oleh titik-titik air yang sering digunakan seorang pria mengutarakan rindunya melalui puisi untuk menggoda pacarnya. Beliau salahkan hujan yang didukung oleh pendapat Budhe Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang mengatakan bahwa banjir di Kalimantan Selatan terjadi karena anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di daerah aliran sungai (DAS) Barito. Baiklah, jika pakdhe bilang hujan dan budhe bilang anomali cuaca, itu saling berhubungan (seperti presiden dan mentrinya), anomali cuaca ini mengakibatkan curah hujan tinggi, sedangkan anomali cuaca ini salah satu efek dari krisis iklim, ya boleh-lah kita hubungkan antara cuaca dan iklim, seperti hujan dan anomali cuaca tadi, dengan kata lain banjir di Kalimantan di sebabkan oleh krisis iklim.
Climate crisis atau krisis iklim adalah kondisi dimana terjadinya peningkatan suhu rata-rata bumi dengan jangka waktu yang lama, peningkatan suhu bumi inilah yang dapat mendalangi terjadinya anomali cuaca tersebut. Banyak faktor penyebab terjadinya krisis iklim ini, seperti efek gas rumah kaca, pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, penggunaan chlorofluorocarbon (CFC) yang tidak terkontrol, menumpuknya polusi udara, dan kerusakan fungsi hutan. Faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan anomali cuaca, seperti kemarau berkepanjangan, peningkatan volume air laut karena mencairnya es di kutub, terjadinya La Nina dan El Nino, dan curah hujan tinggi.
Spekulasi Pakdhe mungkin ada benarnya, banjir di Kalimantan Selatan karena curah hujan tinggi, curah hujan tinggi karena anomali cuaca, anomali cuaca karena krisis iklim, salah satu penyebab krisis iklim adalah rusaknya fungsi hutan. Lalu bagaimana kabar hutan Kalimantan?. “hutan kalimantan tidak baik-baik saja, ayo kita selamatkan” mungkin seperti itu yang ingin beliau katakan, namun mungkin beliau belum sempat mengatakannya kepada wartawan.
Penulis : Fauzan Muhammad Rafli
No comments