Bencana, Logika, dan Keterlibatan Media
Designed by macrovector / Freepik.com |
Pernyataan Presiden Jokowi pada Senin, 18 Januari lalu perihal bencana banjir di wilayah Kalimantan Selatan membuat geram pikiran saya. Pernyataan yang juga mencederai logika itu diucapkan Jokowi usai mengunjungi dan menyaksikan sendiri lokasi terdampak banjir. dia mengklaim kalau banjir yang merendam 10 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan itu disebabkan curah hujan tinggi hingga Sungai Barito tak lagi dapat menampung volume air. Parahnya, perangkat pemerintah dan Kementerian Lingkungan Hidup pun mengatakan hal yang sama.
Tak hanya itu kebohongan serempak yang diutarakan oleh pemerintah. Agar klaim penyebab banjir tampak memiliki dasar yang kuat, pemerintah juga mengatakan kalau banjir besar merupakan kali pertama dalam 50 tahun terakhir di Provinsi Kalimantan Selatan. Saya melihat pemerintah seolah menutup mata atas kerusakan alam yang begitu nyata. Pemerintah mengingkari bagaimana siklus alam merespon deforestasi dan ekstraksi besar-besaran yang terjadi di Kalimantan.
Padahal, pembukaan lahan dan penggalian tambang oleh perusahaan yang dimiliki petinggi negara telah mendestruksi Daerah Aliran Sungai. Pohon-pohon menyusut berganti mesin-mesin pengeruk batubara. Mesin-mesin itu turut menyumbang panasnya bumi oleh sebab emisi CO2 yang diudarakannya. Ujungnya, anomali cuaca dan ragam bencana meteorologi pun tak terelakan lagi. Dengan logika ekologi semacam itu, tidak mungkin kita menyebut penyebab banjir ialah curah hujan yang tinggi, sebagaimana mengucapkan penyebab longsor adalah pergerakan tanah.
Kini, saya sependapat dengan Arundhati Roy, aktivis dari India yang mengatakan, "Harapan kita bukan pada mereka yang berada di ruang konferensi perubahan iklim di kota dan gedung tinggi, tetapi pada mereka yang tinggal di desa, yang setiap hari berperang melindungi hutan dan gunung."
Di sisi lain, saya bertambah kecewa ketika pernyataan pemerintah itu langsung dikutip menjadi judul sebuah berita di beberapa media online. Seolah-olah fungsi media hanya sebatas penyampai informasi tanpa melakukan verifikasi terhadap suatu kebenaran ilmiah. Sebab, pengaruh media juga menjadi harapan besar untuk membentuk persepsi publik sadar akan wawasan lingkungan hidup.
Peran Media
Pada dasarnya, persepsi dan media massa memiliki kaitan yang erat dan saling melengkapi. Persepsi dan media ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dua hal ini berjalan beriringan dan saling bertautan. Persepsi akan menentukan pemahaman khalayak terhadap pesan media termasuk berita-berita bencana yang dimuat. Pemahaman ini pada gilirannya akan memengaruhi sikap dan keyakinan.
Saya pikir, media sebagai pilar demokrasi ke-empat, tentunya sangat penting dalam mengawasi kebijakan pemerintah terkait pengelolaan lingkungan. Media dalam menyikapi biang terjadinya bencana diharapkan menyampaikan informasi lingkungan hidup secara objektif, akurat, kritis dan konstruktif. Sekaligus bertugas memusatkan perhatian masyarakat dengan pesan-pesan yang ditulisnya, menumbuhkan aspirasi, dan menciptakan suasana membangun.
Alih-alih memuat pemberitaan berujung olok-olok dan ketidakpercayaan publik terhadap logika keliru itu, media harus mengkajinya melalui proses verifikasi yang ketat. Media semestinya memberi ruang pandangan lain dari akademisi dan LSM yang memiliki data akurat, seperti Walhi, WWF, atau Jatam yang giat menaruh peduli terhadap permasalahan lingkungan hidup. Perlu juga adanya rubrikasi khusus yang memberikan laporan mendalam, penyelidikan, berita visual didukung data dan klarifikasi atas pernyataan bohong.
Kita dapat melihat media seperti Mongabay.co.id yang menyediakan ragam berita konservasi dan sains lingkungan, memiliki fokus khusus pada hutan, juga menyediakan analisis, dan informasi lain yang berhubungan dengan lingkungan. Atau forestdigest.com, majalah alumni Fakultas Kehutanan IPB, yang menyebarkan informasi penting dan relevan untuk mendorong partisipasi publik dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan lestari.
Ada beberapa strategi media dalam memuat kasus terkait pelanggaran lingkungan antara lain; (1) Mengkaji kebijakan pembangunan, seperti meluasnya pelepasan hutan Kalimantan; (2) Mengulas dokumen AMDAL; (3) Memantau realisasi CSR tanggung jawab lingkungan oleh perusahaan, umumnya perusahaan hanya meninggalkan begitu saja lubang bekas tambang; (4) Peringatan dini sebagai mitigasi bencana, penyebaran informasi peta kawasan bencana, sosialisasi untuk pemahaman publik dalam menghadapi bencana, pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana.
Pada akhirnya, dengan menerapkan jurnalisme berwawasan lingkungan, media turut serta menyosialisasikan dan mewariskan nilai-nilai sosial dan budaya khususnya berkaitan dengan isu lingkungan. Melalui sebaran informasi, kampanye dalam rangka pelestarian lingkungan juga akan lebih mudah dalam menggalang dukungan masyarakat yang peduli. Kesadaran lingkungan nantinya dapat membawa transformasi sosial atau perubahan budaya. Agar terwujud lingkungan yang memiliki daya dukung dan kualitas yang dapat mendukung kehidupan kini dan bagi generasi mendatang.
Mahasiswa Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email: rionovianto19@gmail.com
Kontak: 085795792391
No comments