Breaking News

Aksi Kamisan Solo, Lawan Militerisme di Ranah Kampus


Tagar #JusticeForGilangdanNailah muncul di jajaran media sosial tepatnya pada Hari Kamis (31/03). Berada di Kota Solo tepatnya pada Bundaran Gladak, setelah redanya hujan yang mengguyur selama beberapa saat, berkumpulah para pemuda yang tidak lain merupakan sebuah gerakan aksi untuk menuntut dan memberi tahu kepada khalayak umum tentang sebuah kasus yang terjadi di 2 kampus (UNS dan UMS). Gilang Endi Saputro, mahasiswa angkatan 2020 Fakultas Sekolah Vokasi K3 Universitas Negeri Sebelas Maret dan Nailah Khalisah, mahasiswi angkatan 2020 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta yang meninggal dunia akibat kekerasan dan senioritas di Organisasi Menwa (Resimen Mahasiswa). Mereka tewas di tangan organisasi tersebut disaat melakukan Pelatihan Dasar, kegiatan tersebut yang seharusnya ditujukan untuk pembekalan dasar malah menjadi momok perpeloncoan dan senioritas yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Atas dasar inilah yang menjadi keresahan dan membuat muak sejumlah pihak, demo dan sorakan besar-besaran diserukan oleh semua pihak yang merasa bahwa di kampus tidak perlu adanya militerisme tersebut, mereka juga mengatakan bahwa adanya organisasi tersebut tidak berguna dan hanya menjadi sarana senioritas dan kekerasan untuk mahasiwa/mahasiswi yang mengikutinya.

            

Kasus tersebutlah yang akhirnya menjadi tema dan sorakan pada Aksi Kamisan Solo pada Hari Kamis (31/03). Pemuda-pemudi yang berkumpul menyatukan suara dan penolakan keras terhadap program militerisme yang ada di kampus, menuntut penghapusan serta penghilangan unsur tersebut di ranah kampus karena dianggap sebagai hal yang tidak berguna. Berdasarkan wawancara kepada saudara ISS salah satu penggerak aksi tersebut mengatakan “jika tema aksi hari ini dikeluarkan karena keresahan yang sudah dirasa dan juga respon oleh teman-teman, baik di UNS, UMS maupun yang lainnya, kita meminta untuk transparansi dari kelanjutan kedua kasus tersebut, kita pernah melakukan follow up sebelumnya dan berbagai informasi terkait perkembangan dan situasi di kedua kampus didapat oleh mereka yang memang ada disana.“ tuturnya. “hal seperti kegiatan militerisme dan segalanya yang menyangkut kekerasan fisik dan juga senioritas harus dihilangkan karena memang tidak berguna dan juga ditakutkannya akan memakan korban lagi jika terus ada.” sambungnya saat bersuara didepan para aksi lainnya. Menurutnya dan teman-teman Aksi Kamisan Solo, aliansi Justice For Gilang dan Nailah akan terus ada untuk mengingat kejadian kelam yang terjadi di sebuah organisasi akibat dari perpeloncoan, kekerasan, dan senioritas yang dirasa sangat tidak perlu dilakukan dan harus dihilangkan pada lingkungan kampus. Diharapkan kejadian serupa tidak terulang lagi dan dari pihak manapun dapat menemukan solusi terbaiknya.

Menilik sejarah, Aksi Kamisan telah berdiri sejak 18 Januari 2007, sedangkan Aksi Kamisan Solo sendiri berdiri pada tahun 2017 yang saat itu bertepatan pada bulan September dan topik pertama yang dibawa dalam aksi adalah peringatan kasus tewasnya Munir Said Thalib yang merupakan aktivis HAM. Gerakan di Solo ini berawal dari tongkrongan dan berkumpulnya anak muda, kemudian didalamnya terdapat pendidikan politik yang pada akhirnya melahirkan gerakan ini, “didalam gerakan ini (Aksi Kamisan Solo) tidak ada namanya ketua atau koordinator, semuanya bersama kita jalankan bersama, dengan adanya kebersamaan ini diharapkan bisa mempertahankan gerakan Aksi Kamisan Solo, karena pada dasarnya mempertahankan lebih sulit daripada menumbuhkan kembali“. Sambung ISS dalam wawancara dengan reporter LPM GLOBE pada Kamis (31/03). Untuk informasi Aksi Kamisan ini terdapat di beberapa daerah di seluruh Indonesia.

 

Penulis             : Daffa Rafi’i Falah

Reporter          : Iswidiantono


No comments